Suhartini membuka gulungan pasa, membentangkan tenun ikat lalu memperlihatkan hasil karyanya itu kepada Tempo yang mengunjungi rumahnya di Desa Pulau Maringkik, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok, Timur Nusa Tenggara Barat (NTB), akhir pekan lalu, Sabtu, 11 Februari 2023.
Dengan sigap ia segera duduk di lantai.
Tangannya, menempatkan beboko di belakang punggung.
Setelah siap, dengan cekatan perempuan berusia 48 tahun itu mulai menenun bentangan benang warna- warni di atas alat tenun bukan mesin di ruang tengah rumahnya.
Bukit Kayangan di Tepi Laut Selat Alas, Dapat Menikmati Keindahan Gunung Rinjani dan Gulungan Ombak Suara balida menyodok bentangan benang warna-warni, iramanya terdengar riuh tapi beraturan.
Dengan tangkas Suhartini menyorongkan balida bergerak ke kiri di bawah bentangan benang lalu kedua tangannya menghentakan alat tenun tradisional yang terbuat dari kayu.
Bergerak cepat, benang dalam jangka ditarik ke kiri lalu dengan todokara benang nilon merah terangkat.
Todokara ini berfungsi mengangkat benang nilon ke atas supaya bentangan benang bakal kain tenun tidak ruwet.
Bergerak cepat patindra menekan benang lalu dengan bulungah membuka benang.
Tak berhenti di situ dengan palapa yakni sebilah bambu bergerak menahan bulungah.
Kain tenun pun tergulung dalam pasa.
Tenun Ikat Pulau Maringkik Terdaftar sebagai Kekayaan Intelektual Komunal Kanwil Kemenkumham NTB Alat tenun tradisional itu dibuat sendiri, termasuk beboko juga terbuat dari Kayu Baru yang digunakan untuk menahan punggung si penenun supaya tubuh tidak terlalu banyak bergerak.
Bagi Suhartini menenun adalah tradisi turun-temurun.
Perempuan kelahiran Pulau Maringkik itu sejak usia belia telah diajari menenun oleh ibunya.
“Balida ini warisan dari ibu saya sudah puluhan tahun menggunakan,”kata Suhartini sembari menunjukan balida berupa kayu panjang berwarna hitam legam itu.
Membutuhkan waktu sepekan untuk menenun selembar kain tenun ikat.
Coraknya berbagai rupa seperti motif Bugis Mandar.
Adalagi corak Gerintik menyerupai rintik-rintik hujan, corak Sepak, corak Lohong, corak Bunga Para dan corak Catur.
Keenam corak tenun ini merupakan warisan budaya leluhur masyarakat di sana.
Masih ada lima corak tenun lainnya yang menjadi model tenunan para perempuan Pulau Maringkik.
“Butuh waktu sepekan kalau pembuatannya setiap hari dikebut.
Kalau santai ya tergantung, bisa sebulan atau satu setengah bulan,”kata ibu dua anak itu.
Untuk selembar kain tenun ikat yang dibuatnya, Suhartini menghargai karyanya itu paling murah Rp 500 ribu.
“Kalau pesan dibubuhkan nama pada kain harganya lebih mahal,” katanya tertawa.
Di Desa Pulau Maringkik tak hanya Suhartini yang menenun.
Rata-rata para perempuan di desa itu sehari-hari di rumah menenun.
Sementara para lelaki bekerja sebagai nelayan di laut.
Tradisi menenun di Pulau Maringkik hingga saat ini masih terus dilestarikan.
Hingga ada anggapan jika perempuan tak bisa menenun tidak dianggap orang asli Pulau Maringkik.
Itulah yang sedikit membuat gelisah Suhartini yang belum memiliki generasi penerus penenun sebab dua anaknya laki-laki.
Saat Tempo mengunjungi Desa Pulau Maringkik, para perempuan tak semuanya sedang menenun.
Mereka menenun di sela-sela kegiatan rumah tangga seperti mencuci, memasak, mengasuh bayi atau kegiatan lainya.
Sebelum menenun aktivitas yang dikerjakan adalah menggulung benang, mewarnai benang dan menjemurnya diterik matahari.
Benang-benang yang sudah diwarnai dengan pewarna alam atau wantek (pewarna buatan ) itulah yang kemudian ditenun dengan alat tenun tradisional yang masing-masing ada nama dan fungsinya.
Kayu penggulung benang dinamakan pamaluk, adalagi balida (kayu panjang untuk sesak/ menyodok benang), jangka alat untuk memasukan benang, todokara digunakan untuk mengangkat benang nilon supaya benang tidak ruwet.
Lalu ada patindra berfungsi untuk menekan benang, bulungah untuk membuka benang, palapa digunakan untuk menahan bulungah.
Palapa ini bentuknya sebilah bambu.
Alat lainnya berupa kayu dinamai panyorong balida dan pasa adalah kayu penggulung kain tenun ikat yang sudah jadi serta beboko yakni kayu bentuknya melengkung ditempatkan di belakang punggung si penenun.
Koordinator Kelompok Tenun Pulau Maringkik Abdul Kohar mengatakan rata-rata perempuan dewasa di Desa Pulau Maringkik menenun.
Desa terpadat di dunia setelah Pulau Bungin (-Sumbawa) itu saat ini dihuni 4.000 jiwa pada 900 KK.
Abdul Kohar pun semakin optimistis keindahan tenun Pulau Maringkik ke depan akan dilirik industri fashion dalam negeri dan mancanegara.
Dia berujar, ” Kindahan dan cerita di balik motifnya yang turun-temurun dari para leluhur kami.
Ada juga corak yang dibuat Ibu Naimah tokoh tenun di sini,” kata Abdul Kohar terlihat bangga.
Yang menarik kalangan pemuda di Pulau Maringkik ini juga mengembangkan produk turunan berupa topi, tas, dompet dari perca kain tenun berbagai corak itu.
Barang-barang itu sudah sampai mancanegara dibawa turis dan dijual umum.
Pilihan Editor: Kisah Perempuan Pelestari Tenun Ikat Tedu Lede di NTT